![]() | ||
|
Klarifikasi disampaikan Veronika untuk menjawab statement Kakanwil BPN Provinsi Bali, I Made Daging pada 15 September 2025, sebagaimana dilansir media, dengan judul "BPN Bali: Pencabutan Tanda Tangan Perbekel Penyaringan Jadi Alasan Utama Pembatalan Sertifikat Ni Wayan Dontri".
"Saya perlu klarifikasi dan meluruskan pernyataan tersebut (Kakanwil), karena infomasi yang disampaikan tidak akurat dan menyesatkan," kata Veronika Giron kepada sejumlah awak media, Rabu (17/9/2025) di Jakarta.
Veronika kemudian melontarkan sejumlah alasan mengapa dirinya bereaksi keras terhadap pernyataan Kakanwil BPN Provinsi Bali, I Made Daging yang dilansir media online itu.
"Sebagai pejabat publik, Pak Kakanwil telah berbohong sehingga merugikan kepentingan klien kami," ujarnya.
Mengenai dugaan adanya tumpang tindih sertipikat SHM Nomor 7395/Desa Penyaringan atas nama Ni Wayan Dontri dengan SHM Nomor 2541/Desa Penyaringan atas nama Sylvia Ekawati, seperti disebutkan BPN Bali disanggah Veronika.
"Itu tidak berdasar dan bertentangan dengan fakta hukum yang ada. (Putusan) Itu cacat hukum, mengangkangi keadikan," tegasnya.
Menurutnya, pencatatan tanah terdapat di data resmi pada aplikasi Sentuh Tanahku milik ATR/BPN. Pernyataan Kakanwil soal tumpang tindih dipandang sebagai pengaburan masalah atas persoalan yang sebenarnya terjadi.
Alasannya, kedua bidang tanah tersebut memiliki Nomor Induk Bidang (NIB) yang berbeda, yakni SHM Nomor 7395 berdiri di atas NIB 05268, sedangkan SHM Nomor 2541 berdiri di atas NIB 02393.
Veronika juga menjelaskan dalam Peta interaktif BHUMI ATR/BPN menunjukkan dengan tegas bahwa tidak terdapat penebalan pada garis batas yang mengindikasikan adanya tumpang tindih batas tanah.
Data swafloating pada Sentuh Tanahku ATR/BPN membuktikan secara transparan bahwa tidak ditemukan adanya batas-batas tanah yang tumpang tindih maupun terbitnya sertifikat ganda di atas satu bidang tanah yang sama.
Pengacara yang dikenal kritis ini menyinggung soal validitas proses pembatalan sertifikat milik kliennya yang dinilai mengabaikan ketentuan fundamental dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997. Dalam pasal itu disebutkan bahwa sertipikat hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan.
Adapun SHM Nomor 7395/Desa Penyaringan telah diterbitkan pada 19 Desember 2018. Adapun permohonan pembatalan baru diajukan pada tahun 2025.
"Artinya, itu jauh melampaui batas waktu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan," urainya.
Dia menyebut, pembatalan sertipikat yang dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan limitasi waktu tersebut menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang secara sistematis dan berpotensi melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Kronologis Kepemilikan Tanah
Dengan detail, Veronika pun menjelaskan kronologis sejarah kepemilikan tanah tersebut. Menurutnya legalitas kepemilikan awal atas tanah tersebut dipegang oleh Ni Wayan Dontri, berupa dokumen Sertifikat Hak Milik Nomor 7395.
Lokasinya di Desa Penyaringan, berdasarkan Konversi Dengan Penegasan Hak, dengan luas 17.700 m² sesuai Surat Ukur Nomor 4473/Penyaringan/2018 tertanggal 19 Desember 2018, terletak di Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana.
Adapun bidang tanah milik Sylvia Ekawati didapat berdasarkan peralihan hak melalui jual beli atas bidang tanah SHM Nomor 2541/Desa Penyaringan, seluas 10.000 m². Tanah tersebut awalnya tercatat atas nama Pan Dontri (ayah dari Ni Wayan Dontri), kemudian dijual kepada Herumanto Zayni untuk dikembangkan menjadi lahan usaha tambak.
Kemudian melalui serangkaian peralihan hak, lanjut Veronika, bidang tanah tersebut akhirnya beralih kepada Sylvia Ekawati pada akhir tahun 2023, yang kemudian menyewakan kepada PT. Sungai Mas Indonesia.
Hingga tanggal 5 Desember 2023, bentuk bidang tanah milik Ni Wayan Dontri dan Sylvia Ekawati masih sepenuhnya berkesesuaian dengan NIB pada masing-masing bidang tanah sesuai koordinatnya, baik pada peta rincik global tanah milik Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Jembrana maupun data bidang tanah pada aplikasi Sentuh Tanahku.
Namun, masalah mulai muncul pada Desember 2024 karena diduga telah terjadi manipulasi dalam proses pengukuran tanah yang menjadi dasar klaim tumpang tindih.
"Itu berawal atas permohonan PPAT I Made Sujata, S.H., M.Kn., dilakukan pengukuran terhadap bidang tanah SHM Nomor 2541/Penyaringan tanpa dihadiri oleh penyanding tanah dan perangkat desa sebagaimana mestinya. Penunjukan batas-batas tanah hanya dilakukan oleh karyawan PT. Sungai Mas Indonesia berdasarkan pengakuan dan penunjukan sepihak mereka sendiri," beber Veronika.
Dugaan adanya manipulasi pengukuran terjadi pada tanggal 12 Desember 2024 terjadi perubahan terhadap bidang tanah milik Ni Wayan Dontri, di mana bidang tanah milik Sylvia Ekawati seolah-olah telah menduduki sebagian dari tanah milik Ni Wayan Dontri. Perubahan ini dilakukan tanpa prosedur hukum yang benar dan tanpa persetujuan pemilik tanah yang sah.
Dari situ, PT. Sungai Mas Indonesia kemudian memulai pembangunan di atas bidang tanah milik Ni Wayan Dontri dengan cara mengurug tanah dan menghilangkan bentuk bidang tanah, sehingga tidak ditemukannya kembali petunjuk atau batas-batas tanah milik Ni Wayan Dontri.
Langgar Asas Due Process of Law
Atas persoalan itu, Veronika menyebut, tindakan BPN Bali yang membatalkan sertipikat Ni Wayan Dontri jelas melanggar asas due process of law yang merupakan prinsip fundamental dalam negara hukum.
Dia beralasan pembatalan dilakukan pihak BPN Bali tanpa memberikan kesempatan yang memadai kepada pemegang sertipikat untuk melakukan:
Data Bidang Tanah pada SHM No: 7395,
Data Bidang Tanah pada SHM No: 2541,
Peta Bidang pada Sentuh Tanahku SHM No: 2541,
SHM No: 7395 Sertipikat Hak Milik
No. 2541 Sylvia Ekawati, dengan luas tanah 10.000 M².
Keputusan pembatalan SHM milik Ni Wayan Dontri disebutnya bertentangan dengan data resmi yang tersimpan dalam sistem informasi pertanahan pemerintah, termasuk aplikasi Sentuh Tanahku dan peta interaktif BHUMI ATR/BPN yang secara konsisten menunjukkan tidak adanya tumpang tindih antara kedua bidang tanah.
"Ada indikasi kuat bahwa proses pembatalan sertifikat dilakukan atas dasar kepentingan pihak tertentu, bukan berdasarkan kepentingan hukum dan keadilan. Hal ini diperparah dengan adanya koordinasi yang patut diduga tidak sehat antara oknum BPN dengan pihak swasta yang berkepentingan," tegas Veronika.
Akibat tindakan yang tidak berdasar hukum tersebut, Ni Wayan Dontri telah mengalami kerugian materiil dan immateriil, yakni:
- Kerugian Materiil
- Hilangnya kepastian hukum atas kepemilikan tanahnya seluas 17.700 m² yang telah dimiliki secara sah.
- Kerugian ekonomis akibat tidak dapat memanfaatkan tanah untuk keperluan produktif.
- Biaya yang telah dikeluarkan untuk proses sertifikasi dan pemeliharaan sertifikat.
- Trauma psikologis akibat kehilangan hak milik yang telah diperoleh secara sah.
- Kerusakan reputasi dan kredibilitas di masyarakat.
- Ketidakpastian hukum yang berkelanjutan.
Mewakili kliennya, Veronika BPN Bali untuk segera membatalkan keputusan pembatalan SHM Nomor 7395/Desa Penyaringan atas nama Ni Wayan Dontri, karena keputusan tersebut dinilai cacat hukum dan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.
Veronika juga menuntut adanya pemulihan status quo ante. Yakni mengembalikan status tanah sebagaimana semula dengan mengakui kembali validitas SHM Nomor 7395/Desa Penyaringan atas nama Ni Wayan Dontri dan mengembalikan data koordinat pada sistem informasi pertanahan sesuai dengan kondisi sebelum terjadinya manipulasi.
"Perlu juga dilakukan penyelidikan ulang proses yang sedang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Bali terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi dalam kasus ini. Rill/Red
0Komentar